Jeritan di tengah malam

Aku sudah mulai terasa ngantuk sejak sore. Dan juga capek. Opera Van Java yang biasanya masih mampu menyedot perhatian, kali ini tidak mampu mengalahkan kantuk yang benar-benar terasa. Aku pasrah. Melepas kacamata dan langsung menyerahkan diri pada lelap yang memang sedari tadi sudah menunggu.

Mungkin karena aku lupa untuk berdoa dan mungkin juga karena kondisi badan yang sedang lelah luarbiasa, aku langsung disergap mimpi yang tidak jelas. Orang-orang berteriak dan berlari panik ditingkahi bunyi alarm yang memekakkan telinga. Alarm itu masih menjerit-jerit ketika aku berasa sudah terjaga dengan badan yang bersimbah keringat.

Aku langsung duduk dengan kepala yang terasa pusing. Keliyengan. Jerit alarm itu kembali terdengar. Dengan kepala terasa nyut-nyutan, aku mencari sumber jeritan itu. Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya, ketika menyadari bahwa yang menjerit dari tadi adalah telepon rumah. Deringnya memang diatur pada posisi maksimal, supaya kalau kami kebetulan sedang ada di luar rumah masih bisa mendengar kalau ada yang menelepon.

Aku menyambar kacamata dan dengan terhuyung mengangkat telepon. Kulirik jam dinding. 00:30. Lewat tengah malam. Pasti telepon penting. Dan telepon penting pada jam-jam segini biasanya adalah kabar duka cita. Tiba-tiba aku merasa benar-benar terjaga.

Suara di seberang menanyakan apakah aku masih ingat dengan ibu Agus. Hmmm. Banyak teman di lingkungan kami yang dipanggil dengan nama suaminya.

Yang rumahnya di pertigaan di depan pak. Suara di telepon menghilangkan kebingunganku.

Ya. Pada Misa Adven kedua, kami bertemu di depan halaman gereja pak. Jawabku. Kenapa pak?

Ibu Agus meninggal sekitar jam 11 tadi. Setelah sebelumnya sakit dan sempat dirawat di MMC.

Aku terdiam. Waktu terakhir kali kami ketemu, dia terlihat sehat. Menyapa kami dengan hangat. Seperti biasanya. Walaupun kami memang tidak sempat ngobrol banyak. Tapi tidak terlihat bahwa sedang sakit. Atau mungkin aku yang tidak terlalu memperhatikan?

Telepon aku tutup setelah sebelumnya kami janjian mau langsung melayat malam ini.

Ibu Agus. Aku mengenalnya cukup baik. Satu hal yang paling aku ingat adalah, dia selalu senang bertemu dengan orang lain. Wajahnya selalu menunjukkan kebahagiaan ketika dia menyapa orang lain di setiap kesempatan. Dan seingatku, dia selalu berusaha untuk lebih dahulu menyapa.

Aku teringat kejadian yang sudah lama sekali berlalu. Saat itu kami berdoa di rumahnya. Entah memang ibu Agus menyiapkan sajian makanan yang berlebih atau memang yang datang lebih sedikit dari yang diperkirakan, kue dan gorengan yang dihidangkan tersisa cukup banyak. Seperti biasa, para ibu sibuk membagi-bagi kue itu untuk dibawa pulang. Aku yang datang hanya dengan bidadari – mungkin waktu itu masih berumur sekitar 4 tahun, sudah pamit dan kami menunggu di depan pintu, karena kami nebeng naik kendaraan salah satu ibu yang sedang berbagi makanan.

Sempat terbesit keinginan untuk ikut mengambil gorengan, karena aku lihat bidadari – walaupun tidak bilang kepadaku, matanya melihat ke arah makanan-makanan itu. Tapi rasa malu membuat aku menarik bidadari ke luar rumah. Kami menunggu di luar rumah. Jalanan depan rumahnya yang memang termasuk jalan besar masih cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang, sehingga aku mengenggam tangan bidadariku erat.

Aku sedang berpikir untuk mampir warung dan membelikan makanan kecil buat bidadari biar dia tidak terlalu kecewa, ketika tiba-tiba ada yang memegang pundakku dari belakang. Kulihat ibu Agus berdiri di belakangku dan di tangannya ada 2 plastik kecil yang berisi makanan yang dibagi di dalam tadi.

“Buat si kecil pak.” katanya sambil mengangsurkan makanan ke tangan bidadari.

“Tidak usah bu. Tidak usah merepotkan.” Aku menjawab basa-basi. Sekilas aku melihat tangan putri kecilku tidak jadi terulur. Matanya memandang ke arahku.

“Halah. . Enggak kok.”

“Ini, buat ibu juga yaa …. ” Kali ini dia berbicara pada bidadari. Sekali lagi bidadari melihat ke arahku. Dan begitu aku menganggukkan kepala, tangan mungilnya langsung menyambar plastik berisi kue yang disodorkan.

“Terima kasih.” Suara bidadari lirih. Tapi matanya tetap ke arah kue, bukan ke arah pemberinya. Hihihi.

“Titip salam buat ibu ya pak.” Wajahnya terlihat sangat gembira. Dengan senyum yang hampir tidak pernah hilang.

Selamat jalan ibu Agus. Selamat jalan ibu Theresia.

Satu respons untuk “Jeritan di tengah malam

Tinggalkan Balasan ke lavenderungu04 Batalkan balasan